![]() |
Ilustrasi | Sumber foto: Pixabay |
Oleh: Ruben Cornelius Siagian
Dalam logika klasik negara modern, intelijen adalah benteng terakhir kedaulatan. Ia berfungsi menjaga rahasia negara, membaca ancaman, dan melindungi integritas bangsa dari infiltrasi asing. Namun, paradoks besar muncul di era kecerdasan buatan (AI), bahwa teknologi yang diciptakan untuk memperkuat sistem pertahanan justru menjadi lubang kebocoran paling strategis.
Kini, ancaman terhadap kedaulatan negara tidak lagi datang dari invasi militer atau spionase manusia, melainkan dari penetrasi algoritmik, yaitu sistem kecerdasan buatan yang beroperasi di balik arsitektur data global. Para abdi negara, akademisi strategis, dan bahkan aparat pertahanan tanpa sadar menjadi bagian dari aliran data transnasional yang perlahan membocorkan rahasia sendiri.
Kedaulatan yang Tergerus di Ruang Siber
Sassen, S. (1999) dalam Digital networks and power menegaskan bahwa kekuasaan di era digital telah berpindah dari teritori menuju jaringan (networks of power). Negara yang tidak menguasai jaringan informasi akan kehilangan kendali terhadap datanya sendiri. Ketergantungan lembaga negara terhadap platform berbasis AI global seperti ChatGPT, Google Gemini, Palantir, atau Copilot bukan sekadar urusan efisiensi, tetapi menyangkut kedaulatan epistemik, yaitu siapa yang sesungguhnya mengendalikan pengetahuan dan memori digital bangsa?
Garcia, C. E. F., Gamboa, S. G., & Castillo, P. G. (2025) dalam artikel penelitianya yang berjudul Digital Imperialism: Neurosymbolic Artificial Intelligence, International Security, Information Flows, and Social Media in the Twenty-First Century menyebut fenomena ini sebagai imperialisme digital. Negara-negara berkembang tidak hanya menjadi pengguna, melainkan juga penyumbang data mentah yang memperkuat algoritma milik negara adidaya. Rahasia, strategi, dan pola kebijakan dalam negeri perlahan terserap ke dalam black box data global yang dioperasikan oleh korporasi berbasis di Amerika Serikat, Israel, atau Tiongkok.
Peta Pengolahan Data AI
Untuk memahami betapa besar ancaman yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan terhadap keamanan nasional, kita perlu menelusuri perjalanan satu potong data, misalnya laporan rahasia atau catatan strategis, sejak diketik oleh seorang abdi negara hingga akhirnya tersimpan di pusat data lintas benua. Proses ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya merupakan rantai panjang yang menembus batas kedaulatan digital negara.
Bayangkan seorang analis pertahanan di kementerian strategis yang tengah menyiapkan laporan situasi geopolitik kawasan. Karena ingin menulis cepat dan efisien, ia memanfaatkan bantuan AI publik untuk merapikan redaksi dan menyusun ringkasan eksekutif. Ia mungkin tidak sadar bahwa setiap kata yang diketik, setiap konsep yang dijelaskan, dan setiap data yang disisipkan akan meninggalkan jejak digital yang tidak bisa dihapus.
Data tersebut tidak berhenti di layar komputernya. Begitu laporan dikirim ke sistem AI, informasi itu berpindah ke lapisan akuisisi data, di mana semua teks, istilah, dan konteks dikumpulkan oleh sistem untuk kepentingan pembelajaran mesin. Sumbernya bisa beragam, mulai dari dokumen publik, basis data riset, hingga input langsung pengguna. Dalam ekosistem inilah batas antara “publik” dan “rahasia” menjadi kabur.
Setelah terkumpul, sistem AI akan memproses data tersebut dalam lapisan kurasi dan prapemrosesan. Di sini, algoritma melakukan pembersihan, penandaan, dan penyusunan ulang data agar dapat digunakan untuk melatih model. Namun, sistem ini tidak memiliki kesadaran politik, bahwa ia tidak membedakan antara laporan strategis kementerian dan artikel akademik biasa. Jika tidak terlindungi oleh enkripsi atau pengamanan jaringan, data rahasia dapat diperlakukan sebagai “bahan pelatihan” biasa.
Kasus nyata terjadi pada tahun 2023, ketika beberapa insinyur di perusahaan pertahanan Korea Selatan tanpa sengaja membocorkan potongan kode rahasia ke ChatGPT. Mereka menggunakan AI tersebut untuk membantu laporan teknis internal. Investigasi kemudian menemukan bahwa data itu disimpan sementara di server luar negeri dan dapat diakses oleh pengembang model untuk penyempurnaan sistem.
Pemerintah Korea Selatan kemudian melarang penggunaan AI publik untuk pekerjaan sensitif, menandai awal kesadaran bahwa setiap interaksi dengan AI adalah potensi kebocoran strategis.
Data akan ke pusat pelatihan model yang tersebar di berbagai belahan dunia, yaitu dari pusat data di Amerika Serikat, Israel, hingga Uni Eropa. Di tahap ini, data diproses dalam jumlah masif menggunakan superkomputer. Karena sistem ini beroperasi lintas yurisdiksi, data dari Indonesia atau negara lain otomatis tunduk pada hukum negara tempat server berada. Sehingga setiap file yang pernah diunggah ke AI publik bisa saja menjadi milik hukum asing, bukan lagi milik negara pengunggah.
Setiap kali pengguna kembali berinteraksi dengan AI, misalnya menanyakan hasil analisis atau meminta ringkasan, sehingga sistem akan memanfaatkan lapisan inferensi. Di sinilah model menganalisis input baru, menghubungkannya dengan data lama, dan terus belajar dari pola percakapan. Walau perusahaan mengklaim bahwa data pengguna “dihapus secara berkala”, sebagian besar interaksi tetap tersimpan sementara dalam cache untuk proses pembaruan model (model refinement). Inilah yang membuat AI tampak “semakin pintar”, tetapi juga semakin berbahaya bagi kerahasiaan.
Sehingga semua data yang telah diolah, baik dari pengguna pemerintah maupun sipil, akan masuk ke lapisan retensi dan redistribusi. Informasi ini menjadi bagian dari knowledge graph, yaitu semacam ingatan kolektif algoritma yang digunakan kembali untuk melatih model di masa depan. Pada titik ini, data tidak bisa lagi dihapus secara manual; ia telah menjadi “pengetahuan” dalam sistem yang tidak mengenal batas negara. Dalam logika machine learning, data yang sudah dipelajari tidak dapat dilupakan, sebagaimana seorang manusia yang sudah membaca rahasia tidak mungkin kembali tidak tahu.
Dalam rantai proses yang tampak teknis ini, terdapat paradoks besar, yaitu semakin sering aparat negara menggunakan AI untuk efisiensi, semakin banyak pula rahasia yang keluar dari batas kedaulatan digital bangsa. Setiap teks, laporan, atau peta strategis yang diunggah berarti menyerahkan sebagian kontrol kepada entitas yang tidak dikenal, yaitu korporasi global dengan pusat data di luar yurisdiksi nasional.
Sejarah digital mencatat bahwa kebocoran serupa bukan sekadar kemungkinan, melainkan kenyataan. Pada 2024, laporan Reuters mengungkap bahwa data sensitif beberapa lembaga pertahanan Eropa masuk ke sistem pelatihan model AI komersial akibat kelalaian internal. Kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya sekat antara teknologi publik dan keamanan nasional.
Dengan mekanisme seperti itu, jelas bahwa AI bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi juga medan perang baru di mana kedaulatan dipertarungkan. Setiap kata yang diketikkan ke sistem AI publik bukan hanya tindakan menulis, melainkan penyerahan sebagian kedaulatan informasi bangsa kepada kekuatan algoritmik global.
AI dan Ilusi Keamanan Negara
Jean Baudrillard (1981) dalam Simulacra and Simulation menulis bahwa modernitas menciptakan “ilusi realitas” melalui teknologi, atau sesuatu yang tampak nyata tetapi semu. Paradoks yang sama kini melanda dunia intelijen. Lembaga pertahanan merasa lebih efisien dengan bantuan AI, padahal tanpa disadari mereka justru membuka pintu bagi penyusupan algoritmik yang tidak bisa dideteksi secara manual.
Penelitian Luo, Y. (2021) dalam Journal of international business studies menunjukkan bahwa banyak lembaga pemerintahan di negara berkembang belum memiliki sistem keamanan data domestik yang setara dengan kemampuan perusahaan teknologi global. Dengan kata lain, aparat negara beroperasi di medan digital yang tidak mereka kuasai.
Kita tidak lagi berhadapan dengan agen rahasia manusia, tetapi dengan mata-mata algoritmik, yaitu entitas nonmanusia yang terus belajar dari perilaku pengguna, tidak mengenal batas negara, dan memiliki kapasitas pengawasan total.
Abdi Negara dan Tantangan Etika Digital
Bagi abdi negara, persoalan ini bukan semata-mata teknis, tetapi etis dan ideologis. Loyalitas pada bangsa kini diuji dalam ruang digital yang dimiliki oleh korporasi global. Foucault, M. (2012) dalam Discipline and Punish mengajarkan tentang panoptikon, yaitu sistem pengawasan permanen yang membuat individu selalu sadar dirinya diawasi. Kini, panoptikon digital telah berubah arah, bahwa bukan negara yang mengawasi rakyat, tetapi korporasi yang mengawasi negara.
Aparat negara, akademisi, dan bahkan lembaga riset pertahanan bekerja di bawah pengawasan tak kasatmata milik perusahaan AI global. Setiap tindakan digital menulis laporan, membuat analisis, atau berkomunikasi yang berpotensi terekam dalam sistem mereka. Di sinilah tantangan etika digital itu muncul, bagaimana menjaga kedaulatan sambil tetap memanfaatkan teknologi?
Reorientasi strategis
Paradoks intelijen di era kecerdasan buatan menuntut reorientasi total dalam cara negara memahami dan melindungi kedaulatannya di ruang digital. Sudah tidak cukup lagi mengandalkan jargon efisiensi dan modernisasi teknologi, yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk menegakkan kembali prinsip dasar kedaulatan data. Negara harus menempatkan keamanan digital bukan sebagai proyek teknis, melainkan sebagai strategi pertahanan ideologis dan geopolitik.
Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengembalikan pengolahan data strategis ke dalam ranah offline, di lingkungan tertutup yang steril dari interkoneksi global. Semua informasi yang menyangkut keamanan nasional, intelijen, dan kebijakan pertahanan mesti diproses tanpa bergantung pada jaringan publik. Pemutusan sementara dari arus data global ini bukanlah bentuk kemunduran, melainkan upaya sadar untuk melindungi inti kedaulatan dari infiltrasi algoritmik.
Pemerintah harus mulai membangun ekosistem AI nasional yang sepenuhnya berbasis infrastruktur domestik. Kecerdasan buatan seharusnya tidak menjadi alat kolonialisme digital yang memperkaya algoritma asing, melainkan instrumen strategis negara dalam memperkuat kemandirian teknologi. Pengembangan model AI lokal di server nasional dengan pengawasan etik dan keamanan berlapis akan menjadi fondasi penting menuju kedaulatan digital yang sejati.
Namun, kebijakan ini tidak akan berarti tanpa reformulasi kurikulum pendidikan pertahanan dan intelijen. Para abdi negara perlu dilatih untuk memahami bukan hanya cara memanfaatkan teknologi, tetapi juga cara menolak ketergantungan terhadapnya. Literasi algoritmik menjadi penting, bahwa aparat harus mengerti bagaimana data mereka dikumpulkan, bagaimana algoritma bekerja, dan sejauh mana perangkat digital dapat menjadi alat pengawasan terselubung. Dalam konteks ini, menjaga rahasia negara bukan lagi sekadar soal disiplin informasi, tetapi juga soal kesadaran epistemik.
Diplomasi digital harus menjadi bagian integral dari politik luar negeri Indonesia. Dalam forum-forum global, negara ini perlu memperjuangkan norma baru tentang data sovereignty, sebagaimana ditegaskan oleh Marcucci, S., Alarcón, N. G., Verhulst, S. G., & Wüllhorst, E. (2023) dalam penelitiannya yang berjudul Informing the global data future: benchmarking data governance frameworks, bahwa setiap negara berhak menentukan di mana datanya disimpan dan siapa yang berhak mengolahnya. Kedaulatan digital harus ditempatkan sejajar dengan kedaulatan teritorial, karena dalam dunia yang diatur oleh data, kehilangan kendali atas informasi berarti kehilangan kendali atas masa depan.
Reorientasi ini, pada akhirnya, bukan semata persoalan teknis, tetapi juga pilihan politik, bahwa apakah kita ingin menjadi pengguna teknologi, atau pemilik pengetahuan? Dalam era AI, perbedaan antara keduanya menentukan apakah bangsa ini akan tetap berdaulat, atau sekadar menjadi data mentah bagi kekuasaan algoritmik global.
Penutup
Kita hidup di zaman di mana batas antara keterbukaan dan kerahasiaan semakin kabur. Intelijen bukan lagi persoalan siapa yang memiliki senjata paling kuat, melainkan siapa yang menguasai data paling dalam. Tanpa kesadaran kritis terhadap struktur algoritmik global, abdi negara akan terjebak dalam sistem pengawasan yang mereka bantu bangun sendiri.
Jika negara tidak segera mengambil langkah tegas, maka benar adanya paradoks itu, maka intelijen akan menjadi nol besar di era AI, bukan karena kekurangannya dalam analisis, melainkan karena kehilangan kendali atas pengetahuan yang menjadi sumber kekuatannya.
Profil Penulis
Ruben Cornelius Siagian adalah seorang penulis dan analis yang fokus pada isu politik, keamanan, dan transformasi digital di Indonesia. Tulisan-tulisannya kerap bersifat kritis dan reflektif, menggabungkan pendekatan akademis dan perspektif jurnalisme investigatif.
Ikuti berita terkini dari Kabar Center di Google News, klik di sini