![]() |
Gedung DPR RI | Ilustrasi/net |
Akar Kemarahan Publik dari Tunjangan hingga Krisis Kepercayaan
Seruan “Bubarkan DPR” yang belakangan menggema bukan sekadar letupan emosional, melainkan ekspresi akumulatif dari krisis representasi. Isu tunjangan rumah Rp50 juta per bulan hanyalah pemantik. Ketika mayoritas rakyat masih bergulat dengan harga kebutuhan pokok, wacana fasilitas mewah anggota DPR menjadi cermin tajam tentang jurang sosial antara rakyat dan elit politik.
Krisis ini semakin parah karena DPR sendiri memiliki rekam jejak yang sulit dibantah, yaitu absensi rapat yang bolong, legislasi yang sering dinilai lebih menguntungkan oligarki daripada rakyat, hingga kasus etik dan korupsi yang berulang. Maka, bagi publik, tunjangan bukan lagi soal angka, melainkan simbol pengkhianatan terhadap amanah demokrasi.
Fenomena ini sejatinya tidak unik bagi Indonesia. Di Prancis, protes besar-besaran Gilets Jaunes (rompi kuning) juga dipicu oleh kesenjangan antara rakyat yang menanggung beban pajak dan elit yang hidup nyaman. Di Chile, kerusuhan sosial 2019 dimulai hanya dari kenaikan tarif transportasi, tetapi menjalar ke krisis kepercayaan pada parlemen dan elit politik. Artinya, di banyak negara, isu ekonomi simbolik dapat menjadi titik api bagi krisis politik yang lebih dalam.
Demonstrasi dan Bentrokan dengan Aparat
Sejak akhir Agustus 2025, ribuan mahasiswa, buruh, dan pelajar turun ke jalan menuntut pembubaran DPR. Aksi damai berubah ricuh ketika aparat melepaskan gas air mata dan water cannon. Bentrok yang meluas memperkuat kesan bahwa negara lebih memilih meredam suara rakyat dengan represi ketimbang membuka ruang dialog.
Kita menyaksikan pola klasik bahwa ketika ruang institusional untuk menyampaikan aspirasi tidak efektif, rakyat mencari ruang jalanan. Fenomena ini mirip dengan protes di Hong Kong 2019, atau bahkan demonstrasi mahasiswa Korea Selatan di era 1980-an. Jalanan menjadi “parlemen alternatif” ketika institusi formal kehilangan legitimasi.
Sahroni, “Orang Tolol Sedunia”, dan Politik Bahasa Kekuasaan
Dalam situasi panas, ucapan Ahmad Sahroni yang menyebut wacana pembubaran DPR sebagai ide “orang tolol sedunia” menyiramkan bensin ke api. Meski maksudnya bisa jadi untuk menekankan bahwa pembubaran DPR secara hukum tidak mungkin, publik menangkapnya sebagai penghinaan.
Bahasa politik tidak pernah netral. Ia mengintrepetasikan relasi kuasa. Dalam teori komunikasi politik, ucapan pejabat publik tidak hanya mengintrepetasikan opini pribadi, tetapi juga simbol institusi. Maka ketika seorang anggota DPR menyebut rakyatnya tolol, kepercayaan yang tersisa runtuh seketika.
Di negara demokrasi mapan, politisi yang tergelincir dalam bahasa ofensif biasanya cepat meminta maaf, bahkan bisa mundur. Di Inggris, seorang anggota parlemen dapat dijatuhi sanksi etik hanya karena menyebut lawan debatnya dengan istilah yang merendahkan. Di Amerika Serikat, ucapan politikus yang dianggap merendahkan publik dapat berimplikasi serius pada peluang elektoralnya. Maka dalam hal ini memperlihatkan lemahnya etika komunikasi politik kita dibandingkan standar internasional.
Bisa atau Tidak? Pembubaran DPR dalam Perspektif Konstitusi
Pertanyaan mendasar tetap sama, bahwa apakah DPR bisa dibubarkan? Jawaban konstitusionalnya jelas yaitu tidak. UUD 1945 tidak memberi celah pembubaran DPR, baik oleh presiden maupun rakyat.
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Pasal 7C menegaskan presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sistem ini dirancang agar ada checks and balances, sehingga tidak ada satu pihak yang berkuasa mutlak.
Perbandingan internasional memperkuat hal ini. Di Inggris, Perdana Menteri memang bisa meminta Raja membubarkan parlemen, tetapi hanya untuk menyelenggarakan pemilu baru, bukan untuk menghapus fungsi legislatif. Di Prancis, Presiden punya wewenang membubarkan Majelis Nasional, tetapi tetap harus segera mengadakan pemilu legislatif ulang. Artinya, pembubaran lembaga legislatif di negara demokratis selalu diikuti dengan pemulihan mekanisme representasi, bukan penghapusan permanen.
Indonesia berbeda bahwa konstitusi kita tidak mengenal mekanisme pembubaran DPR sama sekali. Maka, seruan pembubaran lebih merupakan ekspresi frustrasi ketimbang tawaran solusi.
Reformasi atau Otoritarianisme Baru?
Sejarah politik Indonesia memberi pelajaran berharga. Soekarno pada 1959 membubarkan Konstituante dan melahirkan Demokrasi Terpimpin. Hasilnya adalah konsentrasi kekuasaan pada satu orang, yang berujung pada krisis politik dan ekonomi. Gus Dur pada 2001 mencoba mendekritkan pembubaran DPR, tetapi justru dilengserkan oleh MPR.
Jika wacana serupa terjadi hari ini, risikonya sama, bahwa demokrasi akan runtuh dan digantikan otoritarianisme, atau negara terjebak dalam instabilitas politik. Kita bisa belajar pula dari Thailand, yang berulang kali mengalami kudeta militer dengan alasan “menyelamatkan negara dari parlemen korup”. Hasilnya bukan perbaikan, tetapi lingkaran setan otoritarianisme.
Bukan Bubarkan, Tapi Benahi
Jalan keluar yang rasional bukan membubarkan DPR, melainkan membenahi. Transparansi anggaran harus diwajibkan. Mekanisme etik harus diperkuat. Publik harus bisa mengakses rapat-rapat legislatif secara daring. Partai politik harus membuka rekrutmen caleg yang lebih demokratis agar rakyat punya pilihan wakil yang benar-benar kredibel.
Negara lain sudah melakukannya. Di Finlandia, parlemen menerapkan keterbukaan penuh, bahwa semua rapat bisa diakses publik. Di Korea Selatan, tekanan publik memaksa anggota legislatif mengurangi tunjangan dan menertibkan absensi. Di Chile, gelombang protes justru mendorong konstitusi baru yang memperkuat mekanisme representasi rakyat.
Artinya, solusi bukan merobohkan rumah, tetapi memperkuat fondasinya. Demokrasi memang cacat, tetapi ia hanya bisa diperbaiki dari dalam, bukan dihancurkan dari luar.
Penutup
Seruan “Bubarkan DPR” adalah alarm keras bagi demokrasi. Ia menunjukkan betapa dalam krisis kepercayaan rakyat terhadap wakilnya. Tetapi membubarkan DPR bukanlah solusi, melainkan jalan pintas berbahaya yang bisa menjerumuskan kita pada otoritarianisme.
Yang kita butuhkan adalah energi kolektif untuk menuntut transparansi, memperkuat etika politik, dan membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas. Demokrasi tidak akan pernah sempurna, tetapi tanpa DPR, kita hanya akan terjebak dalam badai kekuasaan tunggal yang jauh lebih menakutkan.
Penulis: Ruben Cornelius Siagian – Peneliti Independen & Pengamat Kebijakan Publik
Ikuti berita terkini dari Kabar Center di Google News, klik di sini