Aceh Utara – Wakil Ketua Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, menegaskan bahwa tragedi berdarah Simpang KKA merupakan salah satu dari empat lokasi pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh. Hal ini disampaikannya dalam acara peringatan 26 tahun tragedi Simpang KKA yang digelar di Tugu Tragedi Simpang, Gampong Paloh Lada, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Sabtu, 3 Mei 2025.
“Komnas HAM telah menyatakan bahwa peristiwa di Simpang KKA merupakan salah satu dari empat lokasi tragedi pelanggaran HAM berat di Aceh, selain Jambo Keupok di Tapak Tuan, Rumoh Geudong di Pidie, dan Timang Gajah di Bener Meriah,” kata Abdul Haris dalam sambutannya.
Tragedi Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999, saat aparat militer melepaskan tembakan ke arah warga sipil yang sedang melakukan aksi unjuk rasa damai di persimpangan jalan menuju Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA). Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap insiden sebelumnya yang menyebabkan kematian seorang warga. Berdasarkan catatan para saksi dan lembaga hak asasi manusia, sedikitnya 21 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam insiden tersebut. Peristiwa ini meninggalkan luka mendalam dan trauma yang terus dirasakan oleh keluarga korban hingga hari ini.
Abdul Haris menambahkan, hasil penyelidikan atas tragedi tersebut telah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Komnas HAM, lanjutnya, terus mendorong agar proses hukum bisa berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip HAM internasional. “Kini, kami terus mendorong agar proses hukum dapat berjalan sesuai prinsip-prinsip HAM internasional,” ujarnya.
Abdul Haris juga menyampaikan empati dan dukungan kepada keluarga korban. Ia menyadari bahwa meski tragedi itu terjadi 26 tahun lalu, luka yang dirasakan para korban dan keluarga masih belum sembuh. “Waktu tidak bisa menghapus luka yang mereka rasakan,” ucapnya.
Acara peringatan ini digelar oleh Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA), dan dihadiri oleh keluarga korban, masyarakat, serta perwakilan Komnas HAM. Kegiatan dimulai pukul 09.00 WIB dengan doa bersama, testimoni dari keluarga korban, serta penyampaian tuntutan agar negara segera menuntaskan proses hukum dan memberikan keadilan.
Koordinator FK3T-SP.KKA, Murtala, menyampaikan bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Ia menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 3 Mei 1999 tersebut.
“Saya tidak bermusuhan dengan siapa pun. Saya tidak menuntut balas dendam. Tapi saya hanya menuntut hak-hak yang seharusnya diterima oleh korban maupun keluarga yang ditinggalkan,” kata Murtala.
Ia juga mengingatkan bahwa Komnas HAM pernah mewawancarai pihaknya pada 2016 dan menyimpulkan bahwa tragedi Simpang KKA memang merupakan pelanggaran HAM berat.
Ikuti berita terkini dari Kabar Center di Google News, klik di sini